Cerpen

Cinta yang Terganti 
oleh Stephanie

“Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya....”

Guntur di luar, suaranya menggiriskan hati. Angin dan air seperti beradu. Dingin. Bibirku sudah membiru, gigiku beradu, menahan dingin yang menggigit. Padahal sudah kukenakan
sweater pemberian Rado, ketika dia menjalankan tugas ke Padang. Rado? Saat dia mengingat nama itu, tiba-tiba air bening menyeruak begitu saja dari matanya. Bobol lagi pertahananku. Dasar cengeng! Kenapa aku harus menangis lagi?

Peduli amat, orang bilang cintaku cinta monyet. Namanya juga baru kali ini aku mengenal cowok secara serius. Maklum. Keluargaku sedikit kolot. Anak cewek tidak boleh keluyuran. Pulang sekolah, wajib langsung diam di rumah. Kalau tidak ikut pengajian, aku musti membantu Meta, adikku, belajar. Kadang aku juga menemani ibu belanja keperluan toko kami. Padahal aku merasa sudah dewasa, umurku sudah enam belas tahun... tapi tetap saja kedua orangtuaku menganggap aku belum tahu apa-apa.
Siang itu aku mau menjemput adikku. Kebetulan aku pulang cepat, sehingga bisa menjemput Meta. Ketika aku menyeberangi jalan, tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan berwarna biru langsung menuju ke arahku. Karena begitu cepatnya, aku tak mampu berlari atau berteriak lagi. Aku malah terpaku, seperti menunggu maut itu menjemputku....
Darrr! Suara keras itu memekakkan telinga. Aku merasa tubuhku melayang, entah berapa lama sampai sebuah tangan dingin menepuk-nepuk pipiku.

“Bangun, Mbak.... Mbak nggak apa-apa?”
Aku menggeliat. Ringan banget rasanya. Kupikir aku sudah mati. Ternyata aku sudah ada di sebuah rumah makan. Aku baru ingat, rumah makan itu kan letaknya berseberangan dengan sekolah adikku. Lantas....

“Mbak tadi nyaris jadi korban tabrak lari. Orang gila tuh! Untung ada temannya mbak duluan nyamber. Kalau tidak, aduhh...” cerocos seorang ibu setengah baya yang keluar sambil membawakan dua cangkir teh hangat. Mmm... pasti si empunya rumah makan.

“Temanku???” Aku berusaha menajamkan lagi penglihatanku. Sesosok cowok jangkung dengan baju seragam yang sama denganku, kelihatan menunduk tersipu.

“Sori, aku tadi ngaku-ngaku temen kamu. Nggak apa-apa kan, kita juga satu sekolah... daripada ribet neranginnya ke ibu itu,” bisik cowok itu.

Aku terhenyak. Aku yang malu, anak satu sekolah tidak kukenali. Kuper banget.
“Yuk kuantar pulang. Aku bawa kendaraan....”

Aku menggeleng. Tiba-tiba bayangan adikku terlintas....

“Aku ada janji. Thanks, ya....”

“Yakin, nggak apa-apa?”

Aku menggangguk, “Serius.”

“Oke deh... bye. Aku duluan.” Cowok itu beranjak dari duduknya, sebelum aku sadar, dia sudah pergi. Dasar! Bodoh benar aku. Kenapa tidak kutanya siapa namanya? Kelas berapa?

Ah, wajahnya saja mulai samar-samar. Aku tidak ingat bener, hanya sekilas kuingat tatapan matanya yang tajam dan genggaman tangannya yang begitu kuat dan hangat. Siapa sangka, aku kembali bertemu cowok itu saat briefing hari pertama workshop pers abu-abu di sekolahku. Rado... menyebut namanya saja, pipiku bisa merona tiba-tiba. Entah kenapa, keingintahuanku untuk mengenal dirinya lebih dalam begitu menggoda, sampai-sampai aku jadi lebih cepat datang ke sekolah, hanya untuk melihatnya datang, dari teras kelasku.
11 JANUARI
Rado... Rado. Andai ini mimpi, aku tak berani untuk bangun. Aku ingin tetap terlelap dalam mimpiku. Saat kau bilang, kau ingin selalu menjagaku dalam sedih dan senang, dalam tangis dan tawa. Duh, romantisnya. Dia nembak aku bukan dengan cincin, bunga, atau sekotak coklat. Tapi dia membuatku terhenyak, ketika dia memberiku kumpulan lagu-lagu kesukaanku dalam satu CD yang dia mix sendiri. Seperti lagu Gigi, ya.. dia nembak aku pas tanggal 11 Januari, dua tahun yang lalu.
Rado... andai kamu tahu, kamu benar-benar sudah mengubah sebagian besar hidupku. Aku yang pemalu, penyendiri, kini seperti bunga yang mulai berani memperlihatkan kelopaknya. Aku mulai berani aktif di berbagai ekskul, seperti kamu. Aku mulai tahu, tidak semua laki-laki sejahat yang kudengar dari doktrin kedua orangtuaku. Ada juga cowok yang berhati hangat seperti kamu.

Saat aku jatuh, saat aku kecewa, kamu selalu ada. Ketika rumor membuat keluargaku nyaris berantakan, kamu justru datang menentramkanku. Aku tak tahu lagi, apa yang harus kukatakan buat menunjukkan aku juga serius sayang kamu. Impian kita rupanya tinggal selangkah lagi. Dua tahun sudah kita lalui, orangtua kita juga seperti keluarga besar.

Rencana pertunangan di depan mata. Bahkan sudah ada tanggal pernikahan! Kata orangtua kami, bertunangan dulu yang penting. Biar masih kuliah, ntar juga bisa diatur.

Rona bahagia tidak mampu kusembunyikan. Pagi itu, kebaya brokat warna biru muda siap kukenakan. Aku masih sibuk dirias, saat kudengar suara ibuku seperti berteriak, setengah histeris. Aku masih tak mengerti, ketika ayahku duduk di depanku, berkata lamat-lamat.... Rado sudah pergi.

Seisi rumahku menjadi gaduh. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menangis. Aku juga tak merasakan apa-apa, ketika ayah menjelaskan Rado mengalami kecelakaan 5. dan tewas seketika di tempat kejadian. Telingaku seperti mendengung, tak jelas. Badanku seperti mati rasa, kebal, tak berasa apa pun.
11 Januari saat Rado nembak aku. Tanggal itu pula rencana pertunangan kami. Tanggal itu pula tanggal Rado dimakamkan. Rado meninggalkanku, tanpa pesan, tanpa tanda apa pun. Cowok yang sudah dua tahun ini mengisi hari-hariku. Namanya memenuhi diary-ku. Namanya selalu ada dalam doa sujudku.

Aku tak punya air mata lagi. Entah kenapa, hingga jasadnya menghilang tertutup tanah, aku tetap tak mampu menangis. Aku seperti limbung, berada di tempat asing. Sekelilingku tak kukenali lagi.

Pulang ke rumah, ketika aku duduk di depan televisi, bayangan itu mengganggu lagi. Bayangan waktu Rado menolongku pertama kali, lantas dia mengajariku mengurus mading, sampai nembak aku dengan sebuah CD. Badan dan hatiku seperti mati rasa. Tiba-tiba saja, aku mendengar Ibu dan Ayah berteriak histeris, sekilas kulihat bayangan mereka semakin jauh dan gelap.

***
Minggu pagi, saat kumulai hariku. Aku melenggang sendiri. Tujuanku ke makam Rado, sekedar menengok dan mendoakannya. Ya, aku kangen. Tiba di makam, aku nyaris terhenyak. Mimpikah aku? Kenapa Rado masih duduk di depan makam? Lantas.....
Orangtua Rado menenangkanku. Ternyata satu hal yang belum kutahu. Rado punya saudara kembar yang diasuh neneknya. Ryan, nama cowok yang mirip sekali dengan Rado. Astaga....

Guntur masih menggelegar. Lamunanku terputus. Ah, aku terlalu lama melamun. Bayangan Rado dan Ryan tiba-tiba bermain dalam benakku. Aku ingat pembicaraan siang tadi di rumah, ketika bunda Rado datang.
“Bunda tahu, kehilangan Rado sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Rianti membuka hati buat Ryan. Dia juga saudara kembar Rado, setidaknya....”

“Rado bisa diganti Ryan, itu maksud Bunda?” Entah kenapa, nadaku langsung tinggi menanggapi maksud ibu Rado. Memangnya aku barang. Tidak dengan A, bisa dengan B, sekalipun mereka sedarah?
Aku terduduk lemas di ruang makan. Bayangan Rado dan Ryan lamat-lamat semakin jauh. Kumohon, Tuhan, haruskah kuterima cinta Ryan? .
 
  


Hey, I am Sixteen
Oleh Dyah Kalsitorini 


“Ya Allah… ampuni Mami dan Papi. Ya Allah… jangan hukum mereka karena hanya lupa hari ulang tahun hamba, anak semata wayang ini…. ” Air mata Anika jatuh berlinang-linang membasahi pipinya.

“Mami!!! Pappiiiiii…..”
Begitu selesai sholat Subuh, Anika langsung melompat hepi. Sambil jejingkrakan ia berlari ke luar kamar. Di meja makan, nampak papinya sedang asyik baca majalah Aneka Yess! sambil ngopi. Jelas aja Anika kaget.
“Pi?”
“Hem….”
“Papi baca majalah Aneka Yess!?” tanya Anika dengan wajah setengah bengong.
“Iya? Kenapa? So what gitu lho?” jawab papi cuek sambil terus membolak-balik lembar demi lembar majalah.
“Pi! Nggak salah? Harusnya papi baca koran atau majalah khusus dewasa!!!” ucap Anika sambil duduk dan minum segelas juice semangka favoritnya.
“Yeee, itu dulu, Darling. Papi kan juga pengen tahu trend anak muda…” jawab Papi. “Nik, di Aneka Yess! kok nggak ada kolom Sentuhan Qolbu-nya ya? Kayaknya cuman itu yang kurang…” kata Papi serius.
“Yeee, Papi! Kalau mau Sentuhan Qolbu, Papi langganan majalah alKisah tuh! Cocok buat Papi dan Mami….”
“alKisah?” Papi mulai tertarik dan menutup majalah Aneka Yess!-nya.
“Iya…. Daripada Papi baca majalah lisensi dari luar negeri yang hiiii serem itu isinya, Pi? Majalah kayak alKisah bias ngademin ati….”
“Eh, Papi nggak pernah baca majalah yang nggak bener, Nik. Apalagi kamu.... Janji ya? Baca majalah yang bener aja? Yang bikin kamu makin smart, gaul, dan pinter. Kayak gini ni….” Papi nunjukin majalah Aneka Yess! dengan bangga.
“Iya, iya, Pi. Pi… Mami ke mana?”
“Lagi senam aerobik di taman. Sono, temeni mamimu mumpung kamu libur. Udah subuhan belum?”

“Sutralah, Pi....”
“Pinter anak Papi….”
“Pi….”
“Hem….”
“Coba inget-inget sekarang tanggal berapa?”
“Tanggal muda. Papi kan belum lama gajian….”
“Bukan itu. Ada peristiwa penting nggak kira-kira hari ini?”
Papi kelihatan mikir sejenak.
“Apa ya?”
“Ayo dong, Pi…. Papi udah minum supleman yang buat otot dan otak itu, kan? Harusnya Papi inget…” ucap Anika.
“Oh ya! Papi inget, Sayang! Masya Allah…. Untung kamu ngingetin, Papi!” Papi berdiri. Hati Anika berdebar kencang.
Papinya pasti inget hari ulang tahun dia keenam belas! Akhirnya….
Tapi ternyata Papi nggak menyalami atau mencium Anika. Papinya justru berdiri menuju ke kalender yang digantung di dekat TV.
“Iya, ya. Hari ini Papi harus pijit refleksi ke Koh Ahong!”
“Apa, Pi?”
Anika bengong.
Dengan lemah Anika berdiri menuju ke taman. Lemas sekali rasanya. Papinya yang dari rekaman video saat hari kelahirannya menungguinya di rumah sakit, lupa dengan hari ulang tahunnya!
Sementara semalem dari jam dua belas malem sampai menjelang subuh tadi SMS dan telepon nggak henti-hentinya masuk sekedar ngucapin hari ulang tahunnya. Dari Kikin, sahabat dekat sehidup-sematinya. Tante Yoyo, mami Kikin, sampai Pak Diman, penjaga sekolah.
Justru orang lain yang inget!!!
Anika menuju ke taman.
Dilihatnya sang mami sedang asyik areobik dengan lagu Backstreet Boys. Mami dengan semangat goyang kiri, goyang kanan, goyang ke kiri serta kekanan. Anika mematikan tape.
Tapi mami masih cuek tetap, senam aeraobik tanpa peduli dengan kehadiran Anika.
Dan beberapa saat kemudian Anika baru ngeh. Maminya pakai walkman.
“Mi!!!” Anika mencolek pinggang maminya. Maminya tersenyum sambil terus bergoyang.
“Tunggu, Honey. Nanggung goyangnya!”
“Miiii…..”
Anika mencari walkman yang disembunyikan di belakang training Mami. Langsung mematikan.
“Yaaa, Anika. Mami lagi semangat gini…” Mami mengelap keringatnya.
“Mi…. ngapain pakai dua tape gitu?”
“Ssst… ini trik Mami. Mami sebenarnya senam pakai lagu dangdut. Biar nggak ketahuan tetangga kalau Mami senam pakai lagu dangdut, Mami pakai walkman ini… Jangan bilang-bilang ya, Sayang? Janji???”
“Iya, Mi. Iya….”
“Mi?”
“Ya, Sayang?”
“Sekarang tanggal berapa, Mi? Coba Mami inget-inget. Ada apa hari ini? Kalau bisa nebak, Mami bener-bener mami teladan deh….”
“Tunggu, Mami inget-inget dulu ya? Oh iya!!! Mami inget! Aduh, Mami memang hebat. Daya ingat Mami luar biasa banget! Ini hari Selasa!!!”
“Yee, kalau itu sih semua orang tahu, Mi! Ayo dong diinget-inget. Sekarang tanggal berapa, Mi???”
Mami kembali nginget-inget.
“Ih, kamu itu nganggep Mami kayak anak TK aja. Ini kan tanggal 9 Mei, Honey?”
“And so?”
“So? So, apaan ya?”
“Bener Mami nggak tahu?”
“Enggak. Mami mandi dulu ya, Honey. Kamu dah sarapan? Daaah, I love u…. Muah….” Mami melenggang genit.
Anika sedih luar biasa. Ya, bagaimana nggak sedih? Maminya yang konon udah ngeluarin dia dari kandungan, dan di kandung selama sembilan bulan sembilan hari, lupa dengan hari ulang tahunnya! Mending kalau anak Mami ada lebih dari sepuluh. Ini mah cuman satu! Anika! Hari ulang tahun anak tunggalnya saja lupa!!! Masya Allah…. Allah memang mahaadil. Memberikan satu anak untuk mami dan papinya….
Dengan langkah gontai Anika berjalan menuju ke kamarnya lagi. Ia lalu merebahkan dirinya di atas tempat tidur….
“Ya Allah… ampuni Mami dan Papi. Ya Allah… jangan hukum mereka karena hanya lupa hari ulang tahun hamba, anak semata wayang ini…. Anika sayang banget sama mereka…. Anika sudah memaafkan Mami dan Papi, ya Allah….” Air mata Anika jatuh berlinang-linang membasahi pipinya.
Tiba-tiba telepon hapenya berdering.

Ternyata Salsa, sahabatnya.
“Happy birthday, Anika, 16 tahun usia lo hari ini…. I love you….”
“Thanks, Salsa… I love you too….”
“Lo lagi hepi ya?”
Nika menggeleng.
“Halo? Nika? Kok lo nggak ngejawab pertanyaan gue?”
“Gue udah geleng kepala, kan?” ucap Anika polos.
“Idih! Mana gue tahu. Kita kan nggak lagi face to face!”
“Eh, iya ya. Lupa gue. Gue lagi sedih, Sa. Bayangin, masak Mami dan Papi sampai lupa hari ulang tahun gue!!!”
“Hah??? Masa sih??? Kejam amat!”
“Iya… bisa kebayang, kan? Betapa hancur berkeping-keping hati gue? Jadi kayak pasir yang berserakan, dan siap diterbangkan angin…”
“Lo puitis juga? Mentang-mentang lagi ultah ya?”
“Iya…. Ya udah deh. Gue pasrah… Ini sudah takdir kehidupan. Ini ujian yang sedang gue alami….Hiks….” Anika menangis.
“Nika? Lo nangis?”
“Iye… Gue mellow banget….”
“Ya sud. Mungkin mami papi elo bener-bener sedang lupa. Maklum, udah tua, kan? Kita harus ngerti. Lo musti tabah ya? Tawakal. Berserah diri kepada Allah. Sholat Tahajud, zikir, dan jangan lupa minum vitamin…” nasehat Salsa.
“Minum vitamin? Apa hubungannya sama zikir?”
“Ada dong. Biar sehat dan kuat zikirnya!”
“Makasih, Sa. Nggak rugi gue punya sahabat keturunan Arab dan anak ustad. Solehah banget! Thanks ya!”
“Oke… Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam….”
Telepon ditutup dari seberang.
Ah, mau mandi aja rasanya ogah banget. Ilang semangat hidup Anika! “Apakah Mami dan Papi sudah nggak sayang lagi sama Anika, ya Allah?” desah Anika sedih.
Semalam saja nggak ada satu pun yang ngebicarain saat makan malam. Mbok ya tanya. Anika mau hadiah apa, minta apa, mau dirayain di mana. Mami dan Papi semalam justru asyik ngebahas rencana undang-undang anti pornografi dan pornoaksi!
“Non Nika….” Terdengar suara simbok dari dalam.
“Masuk, Mbok. Nggak dikunci. Kalau udah selesai masuk, segera keluar lagi ya?”

“Iya, Non. Masuk saja belum, sudah diingetin keluar….”
Simbok muncul.
“Non Nika pasti lagi sedih?”
“Kok Mbok tahu? Saudara Ki Joko Bodo ya Simbok?”
“Hush! Sembarangan! Mata non saja njendol gitu!”
“Njendol? Apaan tu, Mbok? Cendol maksud Mbok? Jangan mentang-mentang Jawa dong, Mbok. Pakai bahasa yang baik dan benar….”
“Njendol itu sejenis bengkak. Non kenapa?”
Anika menatap pembokatnya. Mau tanya ingat nggak kalau hari ini adalah birthday-nya. Tapi niat itu segera diurungkan. Percuma saja. Simbok juga pasti lupa.
“Udah, Non ditunggu Papi sama Mami di bawah. Disuruh turun sekarang….”
“Males, Mbok. Lagi bete….”
“Bete? Aduh, jangan dong. Non harus turun sekarang ya? Di kamar tamu depan…”
“Salam aja deh buat Papi dan Mami….”
“Non jangan gitu dong. Ini amanah lo. Mbok dikasih misi untuk membawa non turun. Masa nggak bisa? Turun ya?”
“Iya, iya! Ngapain sih?”
“Mbok nggak tahu. Yuk!” simbok menggandeng tangan Anika.
Anika dengan lunglai turun ke bawah.
Suasana sepi. …
“Non ditunggu di kamar tamu! Masuk aja.”
“Apaan sih, Mbok???”
Dengan malas Anika membuka pintu. Dan begitu pintu terbuka…..
Door… door……
Pletak!
Swing…..
Suasana hingar bingar. Balon diletuskan, kertas krep beterbangan ke mana-mana. Nampak Mami, Papi, Oma, Salsa, Yoyo, sampai Pak Giman berdiri mengeliling tart yang gede banget.
Tart warna biru dan putih, lengkap dengan lilin dengan angka 16.
“Happy birthday, Darling…” Papi memeluk dan mencium pipi Anika penuh kasih sayang.
“Mami juga… I love you, Honey….” Mami tak kalah memeluk mesra Anika.
Lalu Yoyo, Salsa, Alex, Tomsek, Dinar, Simbok, Pak Diman….

“Happy birthday…”
“Happy birthday juga…”
“Anika…. Allah mahatahu apa keinginanmu. Dan Allah memberikan lebih dari yang kamu duga?” kata Salsa.
“Betul, Bu Ustad. Jadi lo nelepon dari bawah ya barusan?” kata Anika kepada sahabatnya itu.
“Yoi….”
Semua tersenyum.
“Tiup lilinnya! Potong kuenya!” teriak teman-teman Anika kompak. Wah, swear, kamar tamu disulap jadi tempat pesta yang indah! Nggak nyangka!
“Pi, Mi… Makasih…. Maapin Anika, tadi sempat mikir Papi dan Mami lupa ini hari ulang tahun Anika….”
“Maksud kamu, kamu sudah bersu’uzon alias berprasangka buruk sama Papi dan Mami?”
Anika mengangguk lucu.
“Mana mungkin, Darling? You anak semata wayang Papi. Papi lagi pengen kejutan saja!”
“Mami juga…. Mana ada sih ibu yang ngeluarin anaknya sendiri dengan nyawa sampai lupa?”
Anika memeluk Mami dan Papi bergantian.
“Sekarang usia kamu 16 tahun, Anika. Usia yang mendekati 17. Kamu udah dewasa. Udah gede….” Mami mengusap rambut Anika lembut.
“Ya, mulai sekarang, kamu udah boleh ikutan kemping tanpa dianter Mami dan Papi, boleh ikutan kegiatan apa saja yang kamu suka. Boleh pacaran dengan cowok yang kamu sukai…” Papi menasehati dengan penuh kasih sayang.
“Nah, kamu harus bersyukur ya, Sayang? Ketika kamu sudah mencapai usia sejauh ini, ini karena kasih sayang Allah…. Jadilah manusia yang berarti dan bermanfaat bagi orang lain, ya?”
“Yess, Pi…. Mi…..”
“Jangan manja lagi, ya?”
“Pasti, Mi….”
“Ya udah… sekarang tiup lilin bareng yuk…”
Mami dan Papi menggandeng mesra Anika mendekati kue.
Sebelum meniup lilin, saat teman-temannya menyanyikan lagu selamat ulang tahun, Anika berbisik pada papi dan maminya.
“Pi, Mi, kenapa sih dulu ngasih nama Anika?”
“Ssst… rahasia ya? Waktu kamu lahir 16 tahun yang lalu, Papi sama Mami ngefans majalah Aneka, yang waktu itu kumpulan cerpen aja…. Sampai sekarang Papi masih setia berlangganan, kan? Karena ada story-nya juga….”
“Apaan tuh?”
“Dulu Papi dan Mami, pertama kali bisnis, jadi agen majalah Aneka! Jadi nggak salah dong kalau anak Papi dan Mami dikasih nama Anika. Maksa ya?” Papi tersipu. Mami juga….
Anika hanya mampu memeluk erat papi dan maminya dengan penuh kasih sayang. Sebagai tanda rasa cinta yang ia tak mampu wujudkan dengan kata-kata… apalagi emas permata. Semua orangtua di dunia ini pasti the best bagi anak-anaknya….
Alunan lagu selamat ulang tahun masih mengalun….
Anika memejamkan mata, air matanya menetes lembut. Tapi kali ini air mata bahagia….
 




Love Is Like Water
Oleh K. Usman 


Di dalam hidup ini harus ada yang kita banggakan, Emir,” kata Ayah suatu hari, sebelum kembali ke tempat tugas, di Sydney.

Gadis bertubuh kurus, berkulit hitam manis, pendiam, yang bernama Emiriana itu tiba-tiba raib. Teman-temannya di kelas II B SMA Negeri Unggulan I merasa kehilangan dia, setelah liburan panjang. Pertanyaan gencar di antara teman-teman sekelasnya. Ke mana gadis yang sehari-hari disapa Emir itu pergi. Mengapa dia pergi tanpa pamit? Apa sebab dia menghilang tanpa jejak?

“Coba telepon ke rumahnya, Dini!” kata Meinar setibanya di rumah Dini.

“Hanya Bik Genah, si pembantu rumah tangga yang menunggu rumah itu, Mei,” ujar Dini.

“Apa kata Bik Genah?” Meinar bertanya lagi.
“Katanya, Emir pamit kepada seisi rumah pada hari libur pertama.

Bersamaan dengan kepergian Emir, 0m Faruk dan Tante Lili kembali ke tempat tugas di Sydney. Jadi, kusimpulkan, Emir enggak ikut orangtuanya, Mei.” Dini menjelaskan.

“Ya, pasti enggaklah,” ujar Meinar. “Sebab, setahuku, sejak lahir sampai selesai sekolah setingkat SMP dia di luar negeri melulu. Bayangkan, selama sembilan tahun Emir berada di berbagai kota di benua Amerika, Eropa, dan Australia. Kata Emir, dia sudah bosan di luar negeri. Dia ingin menetap di Indonesia yang hijau,” cerita Mei.

Seingat Dini, selama di SMA, Emir adalah pencinta alam. Setiap libur dia menjelajah berbagai pulau. Baginya, dana tidak pernah jadi masalah. Bunga depositonya selalu mencukupi kebutuhannya.

“Anak tunggal 0m Faruk dan Tante Lili itu memang gadis petualang,” kata Mei setelah menghabiskan es krim vanila yang dihidangkan Dini. “Dia suka menyendiri, menulis catatan harian, memotret, membuat film dokumenter, dan bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya,” sambung Meinar.

Mariam, teman sebangku Emiriana punya pendapat lain tentang kesenangan Emir bertualang.

“Emir merasa kesepian bila selalu sendirian di rumah,” kata Mariam suatu hari di kelas kepada Dini dan Meinar.

“Untuk apa dua pembantu rumah tangga, Bik Genah dan suaminya, Mang Udin?” tanya Dini, hari itu, di kelas, saat jam istirahat.

“Din, enggak nyambung pikiran Emir dan pikiran suami-istri itu,” tukas Mariam. “Emir itu kutu buku sejak kecil. Saat di TK, katanya, dia sudah biasa membaca buku cerita. Sedang Bik Genah dan suaminya membaca saja masih mengeja. Jadi, kedua manusia paruh baya itu bagi Emir benar-benar sekadar teman. Tak lebih dari itu,” tambah Mariam.

Dini dan Meinar mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita Mariam itu.

“Aku makin ngerti tentang Emiriana,” bisik Meinar.

“Dia kan anak orang-orang pintar, Mei,” kata Dini.

“Yes, my dear, I see,” ujar Meinar..

Emiriana sangat sadar, dia itu adalah anak tunggal orang pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkinlah mereka bisa jadi staf di kedutaan. Tetapi, di kelas, selama ini, Emir tidak menonjol. Setiap terima rapor maupun kenaikan kelas, dia paling tinggi mendapat ranking sepuluh di kelas. Hal itu selalu menjadi pikiran Emir. Sering sekali, Emir merasa dirinya tidak cerdas. Dia paham, tidak selalu anak orang pintar sama pintarnya dengan orangtuanya. Sebaliknya, tidak jarang anak-anak orang biasa, wong ndeso, bisa saja berotak cerdas.

Sebenarnya, Emiriana mengembara setiap hari libur adalah dalam rangka mencari tahu banyak hal tentang kehidupan ini. Terutama, dia ingin bertanya apa saja tentang misteri dirinya sendiri.

Sungguhpun Emir tidak menjadi siswi yang menonjol di bidang pelajaran di sekolah, dia tidak rendah diri. Emir telah menemukan kekuatan di bidang lain, yakni bidang seni, terutama seni rupa dan seni sastra. Lukisan-lukisannya, puisi dan cerita pendeknya sudah menghiasi majalah dinding di sekolah dan dimuat di majalah yang berbobot di luar sekolah. Saat kelas naik kelas dua, Emir sudah berani pameran tunggal lukisannya di Galeri Nasional. Saat itu 57 lukisannya dipamerkan dan mendapat perhatian para kritikus dan kolektor lukisan.

Jika Emir disebut-sebut sebagai siswi yang kecerdasannya biasa-biasa saja, itu dia terima dengan ikhlas. Bila kecerdasan yang biasa-biasa saja itu dinilai orang lain adalah suatu kekurangan, Emir pun paham. Dia telah belajar sekeras-sekerasnya. Lalu, apa yang dia banggakan di usia remaja? Kecantikan? No way! Emir tidak pernah merasa dirinya cantik atau bertubuh indah. Fisiknya biasa-biasa saja. Kulitnya hitam manis. Tubuhnya boleh dibilang ceking.
“Di dalam hidup ini harus ada yang kita banggakan, Emir,” kata Ayah suatu hari, sebelum kembali ke tempat tugas, di Sydney. “Nah, pertanyaan Ayah, apa yang Emir banggakan di usia remajamu?” sambung Ayah Faruk.
“Menurut pendapat Ayah, apa yang patut Emir banggakan?” Emir balik bertanya kepada Ayah.

“Prestasimu di bidang seni lukis dan seni sastra, Ayah kira,” jawab Ayah.

“Apakah pendapat Ayah itu tidak sekadar untuk menyenangkan hati Emir?”

“Pendapat Ayah disertai bukti, yakni prestasimu itu sendiri, Sayangku!”

Maka, Emir hakkul yakin, dia telah menemukan kelebihan di dalam dirinya, yakni bakat seni rupa dan seni sastra. Selanjutnya, bakat itu dia asah terus, dan dia latih tanpa henti agar menjadi besar dan terus besar. Namun, prestasi yang telah dicapainya tidak menjadikan dia besar kepala atau congkak. Justru, dia semakin rendah hati, dan semakin senang merenung dan bertualang mencari sesuatu yang baru.
***
Suatu hari, dalam pengembaraannya di Sumatera Selatan, di kabupaten Tanjung Enim, Emir menemukan air terjun kecil. Di bawah air terjun kecil itu tampak batu-batu cadas raksasa yang kukuh dan keras. Tetapi, setelah bertahun-tahun, air terjun kecil itu jatuh dan jatuh terus-menerus menimpa batu-batu raksasa Cadas yang keras dan tegar itu, akhirnya batu-batu itu berlubang. Air terjun kecil itu berhasil membuat lubang pada batu cadas yang keras itu. Menyaksikan kejadian alamiah itu, Emir lama merenung.

“Apa yang Anak temukann di air terjun kecil ini?” Seseorang bertanya kepada Emir.

“Kakek ini siapa?” Emir bertanya dalam keterkejutannya.

“Namaku Kurun,” jawab si kakek berjenggot putih. “Aku menjaga kebun kopi di lembah sana!” Si Kakek menunjuk ke lembah.

“0h, Kakek memiliki kebun kopi yang luas sekali!” puji Emir.

“Bukan milikku, Nak. Em, siapa namamu?”.

“Emiriana. Sehari-hari, aku disapa Emir, Kek. Eh, em, jadi itu kebun kopi siapa?”

“0rang kota menyuruhku menjaganya.”

“0h, Kakek dipercaya, ya?”

“Ya, Nak. Kepercayaan itu bagi Kakek sangat mahal.”

Si Kakek beruban, berjenggot putih, dan bertongkat memuji keberanian Emir menjelajah. Katanya, sangat langka seorang gadis berani mengembara seorang diri dan berpakaian seperti busana lelaki pula.

“Jadi apa yang Anak cari?” tanya Si Kakek pula.

“Aku mencari pengalaman baru dan pengetahuan baru karena aku merasa miskin di kedua hal itu,” jawab Emir sejujurnya.

“Bagus!” ujar Si Kakek sambil menunjukkan kedua jari jempol tangannya.

Ketika Si Kakek kembali ke kebun kopi yang dijaganya, sadarlah Emir. Hari libur tinggal dua hari lagi. Maka segera dia berkemas untuk menuju Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang. Pagi-pagi sekali dia akan terbang ke Jakarta karena lusa, sekolah sudah dimulai lagi.
***
Tiba di sekolah, Emir dikerubungi teman-temannya. Banyak pertanyaan diajukan kepadanya. Apa jawab Emir?

“Tunggu jawabannya dalam buku pertamaku yang akan terbit,” jawabnya sambil tersenyum.

“Buku apa, sih?” desak Dini.
“Lihat saja nanti…,” kata Emiriana sambil tersenyum..